Please, Open Your Heart!


10 Mei 2013
Suatu hari yang tak akan pernah aku lupakan. Banyak momen indah yang berhasil kulukis bersama ibunda. Pada hari inilah aku berjalan beriringan dengan ibunda. Pada hari ini pulalah aku bergandengan tangan dengannya. Hati ini pun bergetar kala ibunda meraih lenganku seakan berkata, “Jangan tinggalkan ibu, Nak!”. Sungguh, masih bisa kurasakan getar bahagia di dalam palung hatiku yang terdalam.

Hari ini aku dan ibunda menapaki jengkal demi jengkal harapan demi kebahagiaan Ananda. Resah itu telah ia simpan selama berhari-hari. Lelah terlihat t’lah menumpuk di pelupuk matanya yang sayu. Begitu banyakkah yang kau pikirkan, Ibunda? Begitu beratkah beban yang kau pikul seorang diri?


Disaat Ibunda harusnya beristirahat, anak-anaknya justru tiada henti berulah. Dari Adinda yang masih sibuk dengan penjara suci beserta impian-impiannya untuk mengepakkan sayap yang megah, hingga Ananda yang masih saja berseteru dengan lingkungannya yang entah sampai kapan terus menyiksa batinnya.

Sang Ksatria Besi datang tepat pada waktunya. Kupersilakan Ibunda untuk duduk lebih dahulu. Dalam perjalanan menuju negeri menara tempat Ananda mengembangkan ilmunya, Ibunda bercerita tentang banyak hal yang selama hampir tiga bulan ini t’lah kulewatkan. Tersirat sebuah kebingungan dan kejenuhan, tak tahu lagi harus berbuat apa, selama Ibunda bercerita. Semua masih tentang Ayahanda, tentang Ananda dan tentang Adinda.

Aku menghela nafas dalam. Selama ini keberadaanku yang jauh dari Ibunda seakan menjadi bentuk pelarianku dari segala ujian yang ada. Aku memang lelah, tapi Ibunda pasti jauh lebih lelah daripada yang kurasakan. Dan Ibunda tak pernah lari dari semua ujian kehidupan yang datang silih berganti.

Setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tujuan. Hmmm… disinikah Ananda menjalani hari-harinya selama hampir dua tahun ini? Ternyata bukan bangunan tua seperti yang aku bayangkan. Harusnya dari segi fisik, tempat ini cukup nyaman untuk ditinggali.
Kedatangan kami tidak disambut baik oleh pengurus balai Rehabilitasi Sosial berinisial “KM” itu. Ananda bukanlah anak yang bermasalah. Ananda masuk ke situ karena rekomendasi dari salah satu pengurusnya yang merupakan tetangga rumahku. Balai rehabilitasi sosial itu selalu mendapatkan kucuran dana beasiswa untuk anak-anak yang tidak mampu. Melihat kondisi ekonomi keluargaku, maka tetanggaku itu pun mengusulkan Ananda dan Alhamdulillah diterima. Tapi siapa sangka balai rehabilitasi sosial berinisial “KM” itu justru menekan batin Ananda. Ibu mana yang tega melihat anaknya diperlakukan tidak selayaknya. Keluargaku memang bukan dari golongan atas. So What? Apa karena itu mereka berhak memperlakukan kami yang mungkin mereka anggap “bodoh” untuk diperlakukan sesuka hati mereka? Begitukah mental para “PNS”?

Hei!!!!! Mereka pikir mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan?

Dan yang paling tidak akan aku lupakan adalah ketika “Perempuan” itu mengusirku dan ibundaku secara tidak langsung. IBUNDAKU. Tak seorang pun yang boleh menyakiti WANITA MULIAku itu.
“Perempuan” itu mulai menaikkan nada suaranya ketika aku terus berargumen perihal peraturan yang ada di situ. Aku hanya mengajaknya untuk “open mind” dan berdiskusi santai saja. Tapi sepertinya “perempuan” itu tidak terima. Dia malah berkilah dan memintaku untuk kembali lain hari saja dan langsung bertemu dengan sang kepala rehabilitasi.

“Begini Ibu, saya hanya ingin berdiskusi dulu dengan Ibu.” Kataku waktu itu. Berusaha untuk sabar dan tidak terpancing oleh kata-katanya yang “Nylekit”.

“Ya, saya tahu. Tapi saya tidak bisa memutusi apa-apa. Lebih baik langsung saja ngomong sama kepala rehabilitasinya. Lagipula dia bukan anak saya, jadi saya gak tahu. Kalau anak saya ya pasti saya bimbing.” Kurang lebih seperti itulah “perempuan” itu menimpali. Yang membuatku sedikit kesal adalah perempuan itu ENGGAN untuk mendengarkan pendapat orang lain.

Aku akui Ananda salah karena melanggar aturan larangan membawa HP. Tapi, yang menjadi permasalahan adalah kenapa mereka seakan ENGGAN mendengarkan anak-anak asuhnya untuk berpendapat? Mengapa mereka tidak bertanya terlebih dahulu KENAPA Ananda membawa HP? Bukankah dahulu pengurusnya bilang, jika Ananda berprestasi di sekolahnya, maka Ananda boleh membawa HP? Lagipula Ananda menggunakan HP-nya pun untuk berkomunikasi dengan keluarga dan jualan pulsa.

Ananda bukanlah anak yang bodoh. Ananda berprestasi di sekolahnya. Tapi apa? Prestasi itu tak pernah mendapatkan dukungan sehingga Ananda pun akhirnya merasa tak dianggap. Ananda mendapatkan HP itu bukan karena pemberian orang tua. DIA mendapatkan HP itu karena prestasinya menjadi JUARA 3 dalam pertandingan KARATE.

Ketika Ibunda meminta agar HP itu diberikan pada Ibunda saja, apa jawaban “perempuan” itu?

“Kalau HP-nya diminta ya sekalian anaknya dibawa! Itu udah peraturannya.” Dengan kata lain “perempuan” itu mengusir Ananda.

“Semua HP yang disita mungkin akan dimusnahkan.” Katanya.

Kemudian ketika aku Tanya soal anak yang membawa laptop, apa jawabannya?

“Ya, dia juga kami skorsing sementara sebelum laptopnya dikembalikan.”

Padahal sebelumnya dia berkata,

“Kalau bisa beli HP pasti dia sebenarnya orang mampu donk! Terus kenapa bisa di sini”

Lantas, bagaimana dengan yang memiliki laptop? Bukankah laptop itu lebih mahal harganya? Tapi kenapa laptop dikembalikan tapi HP tidak? Kenapa perlakuan yang diberikan pada si empunya laptop berbeda dengan perlakuan yang diberikan pada Ananda dan anak-anak yang terdholimi lainnya? Bukankah si empunya laptop harusnya lebih kaya dari yang hanya sekedar punya HP butut? Lantas, kenapa si empunya laptop bisa di situ?
Padahal jelas terbaca aturan yang mereka pasang di ruang tamu,

Jika ada yang melanggar, maka akan diberikan peringatan, kemudian membuat pernyataan tertulis, dan terakhir jika masih saja melanggar, maka akan dipulangkan sementara. BUKAN DIPULANGKAN. Dan tidak ada pernyataan HP akan dimusnahkan dalam peraturan itu.

Berdasarkan cerita Ananda, sudah ada enam anak yang keluar dari balai rehabilitasi itu atas inisiatif sendiri. Dan pihak balai seakan menutup mata dan telinga menanggapi kejadian itu. Tidak ada inisiatif untuk mencari dan menanyai keenam anak itu. Padahal mereka masih tanggung jawab mereka. Orang tua dari anak-anak itu percaya dan memasrahkan anak-anaknya pada pihak balai rehabilitasi. Tapi pada kenyataannya, mereka acuh tak acuh. Menganggap tanggung jawab mereka hanyalah sekedar memberikan makan dan memarahi jika salah. Bahkan jikalau saja terjadi sesuatu yang buruk terhadap anak-nk itu, mungkin mereka pun tak tahu.

Yang tidak bisa aku terima adalah :
1.      Anak-anak dituntut untuk terus belajar dan belajar. Hal ini memberikan pandangan bahwa lagi-lagi “N” adalah segala-galanya.
2.      Pengurus balai rehabilitasi adalah pihak yang paling tahu dan paling benar.
3.      Cara mendidik anak yang kaku dan arogan.
4.      Tidak memandang potensi dan bakat yang dimiliki anak. Anak yang “N”-nya di bawah rata-rata dianggap seakan tidak pernah belajar. (Hei! Setiap anak punya kecerdasan yang berbeda)

PNS, Please open your heart! 

Apa karena adanya kepastian memperoleh gaji tiap bulan, PNS jadi tidak sungguh-sungguh dalam bekerja? KKN boleh-boleh saja? Toh atasan pun melakukannya?
Huh… apa karena PNS jadi tahu segalanya? TIDAK!
Apa karena anak-anak itu kurang beruntung dalam segi ekonomi lantas bisa diperlakukan sesuka hati? Apa karena mereka memeroleh beasiswa sehingga bisa diperlakukan seenaknya? Sekali-kali TIDAK!Anak-anak itu berhak memperoleh pendidikan.

Kuajak Ibunda pulang. Bisa kulihat gurat kecewa di wajahnya yang penuh kasih. Ya, buat apa lagi kami di situ. Toh si “perempuan” itu sudah tak peduli dengan kehadiran kami. “perempuan” itu justru tengah sibuk dengan HP-nya. Sungguh tak sopan. Padahal kami tamu di situ.
Keluar dari bangunan “horror” itu, aku ajak Ibunda duduk di sebuah bangku yang berada tak jauh dari situ.

“Kita duduk dulu, Bu. Kita coba survey ke anak-anak yang tinggal di situ.” Ajakku pada Ibunda.
Selang beberapa menit, ada anak sekolah lewat. Sepertinya hendak masuk ke bangunan “horror” itu. Kulambaikan tanganku padanya memintanya mendekat.

“Adik tinggal di situ?” kataku sambil menunjuk bangunan “horror”.

“Iya, mbak.”

“Adik kenal ‘Ananda’? Saya kakaknya. Ini ibunya (menunjuk Ibunda).”

“Iya, kenal.”

“Ananda masih di ‘panti’(pen>balai rehabilitasi sosial berinisial ‘KM’)?”

“Sekarang gak tahu.”

“Maksudnya kemarin-kemarin, ‘Ananda’ masih di panti gak?”

“oh. Rabu kayaknya gak ada.”

“Tapi sebelum-sebelumnya masih di panti kan?”

“Iya, masih kok.”

“Tinggal di panti gimana, Dik? Enak gak?”

“Tergantung orangnya sih mbak?”

“Temen-temennya gimana?”

“Temen-temennya enak kok.”

“temen-temennya sih enak, pengasuhnya yang gak enak” bisik ibu.

“Kalau pengasuhnya sendiri gimana.” Aku kembali bertanya.

“Ya, ada yang baik ada yang menekan.”

“Rata-rata? Kebanyakan dari pengasuhnya menekan apa gak?”

“menekan. Saya juga tadinya udah mau keluar. Tapi gak boleh sama Budhe”

“Budhenya kerja di situ?”

“Iya.”

“oooh…” aku dan Ibunda saling memandang.



CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top